Perjuangan hidup, dalam kebanyakan hal, dilalui dengan penuh liku, bagaikan mendaki bukit yang terjal, menang tanpa perjuangan panjang bagaikan menang tanpa kebanggaan. Jika tidak ada kesukaran, tidak (more…)

Terasa berat bila ku ucap “aku benci kau, cah ayu!”

Dari lisan yang tertatar
Sungguh…
Karena aku cinta padamu full
Seperti waktu penjual premium di SPBU itu bertanya, “full?”
Tanpa ragu ku jawab, “ya full”
Tapi fullnya premium dalam tangki motorku
tak akan mampu mengalahkan cintaku padamu
Sungguh….
Sekali lagi, I love you full
Bukan untuk mbak Ul
Tapi untuk kau, cah ayu, muhibbatul yang beautiful
Pasti…
Kepastiannya tak perlu diragu lagi
Jika padamu full, oh… pujaan hati
Yakin…
Padamu sampai akhir nanti

Jika tiba giliranku
Ku tak ingin kau menghitung waktu
Satu, dua, tiga sampai tujuh
Empat puluh
Seratus
Atau pun seribu
Jika tiba giliranku
Ku ingin kau lunasi sangkutanku
Pada sanak, kerabat, tetangga, dan kolegaku
Dengan simpanan keringatku dulu
Dan tabungan air mataku lalu
Kalau perlu gadaikan juga dua pusaraku
Sampai malaikat tersenyum padaku
JIka tiba giliranku
Ku ingin aliran doa mu
Dari bibirmu yang indah
Yang ikhlas dalam dada
Maka Insya’Allah kelak kita
Bertemu dalam surga-Nya
Semoga…

Tak ingin ku mengeluh, “cuah…!!!”
Pada nasib yang ditulis
Pada takdir yang digaris
Atau qadhar yang dipancar
Tak ingin ku mengeluh, “cuah…!!!”
Ku nikmati saja hidup
Seperti air mengalir tanpa curiga
Dari hulu pasti ke muara
Meski pahit terkadang ku rasa
Tak menyurutkan langka
‘tuk selalu berkarya
Tak ingin ku mengeluh, “cuah…!!!”
Ku nikmati saja hidup
Tanpa sungkan
Walau berkeringat
Hingga terurai air mata
Tak ingin ku mengeluh, “cuah…!!!”
Tapi, kenapa…
Terkadang keluh membersit
Menyesakan dada
Perih… seperti luka?
Tak ingin ku mengeluh, “cuah…!!!”
Ku nikmati saja hidup
Sembari bersandar pada-Nya
Hingga batas usia

Matahari tampak kelelahan
Tak mampu mengurung mendung dalam kecerahan
Tak kuasa membendung angin dalam keceriaan
Hujan pun iba,
Tanpa diundang…
Menyapa bumi yang lama kepanasan
Hingga tak mampu menahan kedinginan
            Bumi  pun menggigil
Tapi para pengantin bumi tertawa riang
Berharap ikrar suci dapat dikumandangkan
Di musim dingin, musim kawin ini
Dan…
Harapan itu terkabulkan
Segera kertas bertuliskan “Undangan” dilayangkan
Pada sanak, kerabat, dan teman seperjuangan
Berharap pula amplop dan doa berdatangan
Di musim dingin, musim kawin ini
Para pengantin bumi ikrarkan “Qobiltu…”
dengan senyuman
Di musim dingin, musim kawin ini
Para pengantin bumi berlomba sempurnakan keimanan

Ada dua hari raya yang disyariatkan dalam Islam; Idul Fitri dan Idul Adha. Secara historis keduanya juga saling melengkapi. Keduanya sama-sama menanamkan rasa kesetikawanan sosial (social responsibility).

Idul Fitri dirayakan di bulan Syawal setelah melaksanakan shiyam (puasa) sebulan lamanya dan berzakat fitrah sebagai sarana untuk mentarbiyyah diri. Sementara Idul Adha sebagai simbolisasi penyembelihan ego dan kerakusan pribadi, selain sebagai saat turunnya ayat terakhir Alquran “alyauma akmaltu lakum dinakum…..(hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu), satu hari sebelum wukuf di arafah.

Perspektif Historis

Secara historis, penyembelihan hewan kurban pada hari Idul merujuk pada puncak ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah; menyembelih putranya sendiri, Ismail. Melalui mimpi, Allah perintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangan yang telah lama ia nantikan kehadirannya.
Penyembelihan hewan merupakan sarana dan cara pelestarian agama Ibrahim, meski sebenarnya perintah untuk berkurban juga telah ada sejak zaman Nabi Adam; saat kedua putranya, Qabil dan Habil diperintahkan berkurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah.

Penetapan syariat berkurban setelah rentang ribuan tahun peristiwa Ibrahim, menjadi media untuk menghapuskan penyimpangan pelaksanaan kurban yang tidak ditujukan kepada Allah. Banyak kalangan dalam masyarakat melakukan kurban yang mengarah kepada kemusyrikan.

Perspektif Fiqh
Dalam bahasa Arab, qurban bersal dari akar kata qaraba -yuqaribu –qurbanan, yang memiliki arti menghampirkan atau mendekatkan. Melakukan kurban menurut syariat Islam adalah menyembelih binatang –kambing, unta, sapi dan atau karbau- dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.
Hal ini dilakukan merujuk pada ayat-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah….”(QS. Al Kautsar; 1-3). Hal ini kemudian dipertegas Rasulullah dengan ungkapannya, “Barangsiapa yang memperoleh kelapangan, namun ia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat salat kami.”

Berdasarkan kedua dalil naqli di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi setiap muslim yang mampu. Dan waktu penyembelihan adalah pada hari “H” plus tiga hari tasyriq setiap tahunnya.

Dengan demikian, semangat kurban merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menguji keimanan seseorang dan tingkat cintanya kepada Allah. Apakah harta dan segala yang ia miliki memalingkan dirinya dari Allah. Meski sebenarnya, cinta kepada harta maupun anak-anak merupakan fitrah, tetapi seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan di atas itu semua (lihat QS Al Taubah; 24).

Dalam sejarah Islam, banyak sahabat-sahabat Nabi yang membuktikan cinta mereka dengan berkurban demi mendapatkan cinta Allah dan rasul-Nya, meski harus meregang nyawa. Merekalah para syuhada, salaf shalih, dan mereka itulah nanti yang akan memperoleh derajat tinggi di sisi Rabb mereka.

Utsman bin Affan, umpamanya, telah mengukir sejarah awal Islam dengan tinta emas. Pada zaman Abu bakar Al shiddiq, terjadi musim paceklik yang sangat memprihatinkan. Banyak orang kesulitan mendapatkan bahan makanan, kemudian mengadukan perihal mereka kepada sang Khalifah, dan khalifah pun meminta mereka bersabar. Namun tak lama waktu berselang, tiba iring-iringan unta dari Syam membawa gandum, minyak goreng dan bahan pangan lainnya.

Lalu Utsman membagikan gandum dan hartanya itu secara cuma-cuma -tanpa pretense apapun- kepada penduduk yang sedang kekurangan hingga tak seorang pun yang luput. Itulah contoh pengorbanan seorang sahabat Nabi.

Hikmah dan Rahasia

Pakar tafsir kontemporer, Abdullah Yusuf Ali dalam masterpicenya The Holy Qur’an; Translation andf commentary, menjelaskan bahwa ibadah kurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial. Secara vertical, ibadah ini lebih merupakan ungkapan syukur, maka bacaan takbir justru lebih penting dari prosesi penyembelihan itu sendiri.

Artinya, karena kurban itu merupakan manifestasi keimanan seseorang, bukanlah wujud kurbannya lebih dipentingkan, melainkan nilai dan motivasi orang itu menjalankannya. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang khaliq. Yang dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan; lan yanalallah luhumuha wala dimauha, walakin lanaluhu al taqwa…..”, tegas-Nya.

Sedangkan secara horisontal, berqurban merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, khususnya kepada golongan yang lemah atau mereka yang dilemahkan (baca; dizhalimi) dan tertindas. Ibadah kurban pun mengajarkan kepada manusia utuk rela brkorban demi kepentingan yang lebih universal, baik kepentingan agama, bangsa, maupun kemanusiaan.

Dengan kata lain, kurban juga menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa. Pasalnya, kurban ini tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di sungai, malah daging kurban dinikmati bersama baik oleh orang yang berkurban maupun orang-orang miskin di sekitarnya.

Ulama besar Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita semua bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat kebinantangan manusia. Berqurban itu bukan hanya sebatas seekor kambing, tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan hawa nafsu kebinatangan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat kikir, egoisme personal maupun komunal, dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, berkurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial (social responsibility). Dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk berkurban, diharapkan timbul rasa kebersamaan di masyarakat sehingga bisa menggalang solidaritas, kesetiakawanan sosial dan introspeksi diri untuk kemaslahatan bersama.

Sebagai penutup, dengan berqurban, semoga kita mampu melawan syetan dan hawa nafsu yang hadir lewat iming-iming harta dan kekuasaan dengan menyembelih semua sifat kebinatangan kita selama ini guna mewujudkan kebersamaan dan membebaskan negeri ini dari keterpurukan.

Ahmad Arif
Delegasi khusus Pemuda & Mahasiswa Aceh, sekaligus panelist speaker dalam “1st Conference on Cultural Cooperation among the Muslim Youth”, Turki, 2005

Sumber : link

JAKARTA– Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono tiba di masjid Istiqlal, Jakarta, untuk mengikuti salat Idul Adha.
Dalam kesempatan ini, turut hadir Wapres Boediono didampingi Ibu Herawati, Gubernur DKI Fauzi Bowo, sejumlah menteri, dan duta besar negara sahabat.
Pantauan okezone, Minggu (6/11/2011), rombongan Presiden tiba pukul 06.50 WIB. Sesaat setelah presiden tiba, iqomat Idul Adha dikumandangkan.
Presiden dan Wapres serta jajaran menteri dan para duta besar negara tetangga menempati baris pertama.  Imam dalam salat Id di Istiqlal kali ini  adalah Husni Ismail dan bertindak selaku khatib,R ektor UIN Alaudin, Makassar Prof Dr H A Qadir Gassing.
Sementara itu, pengamanan di masjid Istiqlal cukup ketat. Ratusan personel polisi tampak berjaga mulai dari pintu masuk Istiqlal. Para jamaah yang masuk ke masjid juga diperiksa satu per satu. 
Sumber : link

HARI raya Idul Adha atau lebih dikenal dengan Idul Qurban beberapa saat lagi kan menjelang. Pada hari itu, setelah shalat Id, sampai tiga hari berikutnya yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, ummat Islam yang berkemampuan diperintahkan untuk menyembelih hewan kurban, baik berupa sapi ataupun domba.

Penyembelihan hewan kurban pada hari Idul Adha secara historis adalah merujuk pada puncak keta’atan Nabi Ibrahim kepada Allah. Ia tunaikan perintah Allah untuk menyembelih putranya sendiri, Isma’il. Melalui mimpi, Allah perintahkan Ibrahim untuk menyembelih putra kesayangan yang telah lama ia nantikan kehadirannya. Mimpi yang berulang datangnya itu ia yakini sebagai titah yang harus dilaksanakan.
Penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha merupakan wasilah (sarana) dan thariqah (cara) pelestarian millah (agama) Ibrahim, meski sebenarnya perintah untuk berkurban juga telah ada sejak zaman Nabi Adam. Saat itu, kedua putranya Qabil dan Habil diperintahkan untuk melaksanakan kurban sebagai bentuk ketundukan kepada Allah. Penyembelihan hewan kurban juga merupakan syari’at yang ditetapkan bagi Nabi Muhammad dan ummatnya, dengan merujuk kepada peristiwa Nabi Ibrahim yang mengorbankan putranya Isma’il.
Penetapan syari’at berkurban setelah rentang ribuan tahun peristiwa Ibrahim, menjadi media untuk menghapuskan penyimpangan pelaksanaan kurban yang tidak ditujukan kepada Allah. Banyak kalangan dalam masyarakat melakukan kurban yang mengarah kepada kemusyrikan. Termasuk kemunculan tradisi yang terjadi pada zaman jahiliyah, yaitu banyaknya masyarakat Arab kala itu yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Padahal, peristiwa kurban yang dilakukan Ibrahim memperlihatkan puncak keta’atan kepada Allah, bukan malah seblaiknya.
Perspektif Fiqh
Dalam bahasa Arab, kurban bersal dari akar kata qaraba -yuqaribu –qurbanan, yang memiliki arti menghampirkan atau mendekatkan. Melakukan kurban menurut syari’at islam adalah menyembelih hewan atau binatang –kambing, unta, sapi dan atau karbau- dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini dilakukan merujuk pada ayat-Nya, “Sesunggunya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah….”(QS. Al Kautsar; 1-3). Hal ini kemudian dipertegas Rasulullah dengan ungkapannya, “Barangsiapa yang memperoleh kelapangan, namun ia tidak berkurban, janganlah ia menghampiri tempat shalat kami.
Berdasarkan kedua dalil naqli di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) bagi setiap muslim yang mampu. Dan waktu penyembelihan adalah pada hari “H” plus tiga hari tasyriq setiap tahunnya.
Dengan demikian, semangat kurban merupakan salah satu ajaran Islam yang bertujuan menguji keimanan seseorang dan tingkat cintanya kepada Allah. Apakah harta dan segala yang ia miliki memalingkan dirinya dari Allah. Meski sebenarnya, cinta kepada harta maupun anak-anak merupakan fitrah, tetapi seharusnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya diletakkan di atas itu semua (lihat QS Al Taubah; 24).
Dalam sejarah Islam, banyak sahabat-sahabat Nabi yang membuktikan cinta mereka dengan berkurban demi mendapatkan cinta Allah dan rasul-Nya, meski harus meregang nyawa. Merekalah para syuhada, salaf shalih, dan mereka itulah nanti yang akan memperoleh derajat tinggi di sisi Rabb mereka.
Utsman bin Affan, umpamanya, telah mengukir sejarah awal Islam dengan tinta emas. Pada zaman Abu bakar Al shiddiq, terjadi musim paceklik yang sangat memprihatinkan. Banyak orang kesulitan mendapatkan bahan makanan, kemudian mengadukan perihal mereka kepada sang Khalifah, dan khalifah pun meminta mereka bersabar. Namun tak lama waktu berselang, tiba iring-irngan unta dari Syam membawa gandum, minyak goreng dan bahan pangan lainnya.
Lalu Utsman membagikan gandum dan hartanya itu secara cuma-cuma -tanpa pretense apapun- kepada penduduk yang sedang kekurangan hingga tak seorang pun yang luput. Itulah contoh pengorbanan seorang sahabat Nabi. Pengorbanan itu bukan hanya sebatas seekor kambing, tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan hawa nafsu kebinatangan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat kikir, dan nafsu menerabas, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Hikmah dan Rahasia
Pakar tafsir kontemporer, Abdullah Yusuf Ali dalam masterpicenya The Holy Qur’an; Translation andf commentary, menjelaskan bahwa ibadah kurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial. Ibadah ini lebih merupakan ungkapan syukur, maka bacaan takbir justru lebih penting dari prosesi penyembelihan itu sendiri. Artinya, karena kurban itu merupakan manifestasi keimanan seseorang, bukanlah wujud kurbannya lebih dipentingkan, melainkan nilai dan motivasi orang itu menjalankannya.
Selain itu, kurban juga menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa. Pasalnya, kurban ini tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di sungai, malah daging kurban dinikmati bersama baik oleh orang yang berkurban maupun orang-orang miskin di sekitarnya.
Ulama besar Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita semua bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat kehewanan manusia. Oleh karena itu, kurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial (social responsibility). Dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk berkurban diharapkan timbul rasa kebersamaan di masyarakat.
Dari sedikit penjelasan di atas, dapat difahami bahwa kurban memiliki makna yang luas dalam kehidupan, terutama dalam rangka meningkatkan solidaritas, kesetiakawanan sosial dan introspeksi. Paling tidak, ada dua dimensi yang ditekankan di sini, yaitu hablum minallah dan hablum minannas. Kurban disyari’atkan sebagai bentuk kepatuhan, keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang khlaiq. Yang dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan; lan yanalallah luhumuha wala dimauha, walakin lanaluhu al taqwa…..”, tegas-Nya.
Sedangkan dimensi kedua, secara horisontal, kurban sebagai bagian dari upaya menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, khususnya kepada golongan yang lemah atau mereka yang dilemahkan (baca; dizhalimi) dan tertindas.
Ibadah kurban pun mengajarkan kepada manusia utuk rela brkorban demi kepentingan yang lebih universal baik kepentingan agama, bangsa, maupun kemanusiaan.
Dipenghujung tulisan ini, sekali lagi, ibadah kurban adalah manifestasi keimanan dan simbol perlawanan terhadap syetan dan hawa nafsu yang hadir lewat iming-iming harta dan kekuasaan. Mampukah kita “menyembelih” semua ujian itu guna mewujudkan kebersamaan serta membebaskan negeri ini dari keterpurukan? Semoga.
Penulis adalah delegasi khusus Pemuda Aceh & panelist speaker dalam “1st Conference on Cultural Cooperation among the Muslim Youth”, Turki, 5-11 Agustus 2005
Sumber : link
Biasanya setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Generasi muda sekarang sangat haus akan informasi tentang Pahlawan mereka dimasa lalu. Sebagian besar dari mereka sangat mengharapkan adanya transformasi nilai dan semangat kepahlawanan untuk menyongsong masa depannya. Walaupun demikian ada juga generasi muda kita yang telah berhasil dalam hidupnya. Bagi mereka yang telah berhasil dihatinya telah terpatri semangat dan nilai-nilai perjuangan dari para Pahlawan. Mereka berpacu dengan prestasi, mereka berkarya dan berkarier diberbagai bidang.
Begitu pula di kalangan siswa, beberapa siswa kita telah berhasil keluar sebagai juara dalam berbagai lomba maupun olimpiade, di tingkat Propinsi, Nasional bahkan di tingkat dunia. Ini cukup membanggakan, walaupun jumlahnya masih sedikit. Dapat dipastikan mereka yang berhasil seperti itu karena terinspirasi oleh semangat juang dan nilai-nilai kepahlawanan. Maka itu perlu ada upaya untuk mereaktualisasikan dan merepitalisai nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri, dengan tujun agar generasi muda kita bisa lebih tangguh, lebih bersemangat, sportif dan objektif dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Pahlawan adalah satu kata yang sangat bermakna, agung, indah dan luhur. Pahlawan dari masa ke masa selalu dipuja dan dikenang. Dia adalah motivator dan sekaligus sebagai inspirator dari suatu bangsa, rakyat dan negara bahkan umat manusia di dunia. 
Berasal dari kata pahala (buah atau hasil) dan wan (orang). Jadi Pahlawan adalah orang yang telah membuahkan hasil yang baik, atau orang yang telah menyumbangkan buah-buah perbuatannya yang terbaik kepada bangsa dan negara, atau orang yang telah memberikan kebaikan kepada orang lain dan sangat berjasa kepada bangsa dan negara.
Pahlawan pada ephos Ramayana dapat dilihat pada figur Rama, Hanoman, bahkan juga Kumbakarna. Kumbakarna walaupun ada di pihak Rahwana tetapi dia bukan membela Rahwana, dia bukan berperang melawan Rama dan sekutunya. Melainkan semata-mata karena membela negaranya. Begitu juga pada ephos Mahabarata, Pahlawan dapat dilihat pada figur Karna, Panca Pandawa, Gatotkaca dan Abhimanyu. Mereka dikenang sepanjang masa dan namanya harum senantiasa.
Begitu juga halnya Pahlawan yang muncul kemudian, ada Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan, Pahlawan Revolusi, Pahlawan Pembangunan dan Pahlawan Reformasi. Lalu bagaimana halnya pada masa kini ?. Siapakah yang disebut Pahlawan ?. Masihkah masyarakat kita respek dan hormat pada Pahlawannya ?. Masihkah Pahlawan itu dapat menjadi inspirasi dan motivasi dari setiap dinamika kehidupan suatu bangsa atau memperingati Hari Pahlawan hanya sekedar formalitas ?. Berbagai macam pertanyaan semacam itu selalu bisa muncul ari orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah sosial, orang yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah Pahlawan dalam konteks masa kini. Pada saat ini, semangat dan nilai-nilai kepahlawanan itu masih sangat relevan dan menjadi keharusan untuk tetap ditransformasikan dari generasi ke generasi. Generasi tua hendaknya selalu dapat memberikan suritauladan kepada generasi muda, baik dalam hal menata kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui Dharma Negara, maupun dalam kehidupan beragama, melaksanakan tugas kewajiban, dan menjalankan profesi masing-masing melalui Dharma Agama. Sedangkan generasi muda hendaknya mampu meneladani semua hal yang baik yang diwariskan dari pendahulu kita. Menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan generasi tua, serta menghilangkan budaya awuh pakewuh, budaya pathernalistik dan budaya koh ngomong dengan duduk bersama dialogis, saling pengertian, saling menghargai, saling mengisi, saling mengingatkan dan saling menghormati. Sehingga tercipta suasana yang kondusip, tenang, damai dan harmonis.
Nilai-nilai kepahlawanan pada masa kini perlu diaktualisasikan kembali, diwujudnyatakan dan direvitalisasi dengan memaknai sebagai sesuatu yang sangat urgen, dan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilupakan. Implementasinya bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari dalam melaksanakan tugas atau dalam bekerja sesuai profesi masing-masing. Dalam hal ini ada tiga hal penting yang saling mendukung yang harus ada pada setiap orang yakni: semangat, motivasi berprestasi dan ethos kerja keras. Ibaratnya mau menyeberang ke sebuah pulau impian. Semangat itu sarananya, motivasi berprestasi itu pulau impian yang dituju, dan ethos kerja keras adalah cara bagaimana kita menyeberang. Semua ini harus disadari betul. Sebab dengan cara seperti ini kita mampu mereaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri.
Sumber : link